Zaman Hindu
Kerajaan Hindu di Talaga
Pemerintahan Batara Gunung Picung
Kerajaan Hindu di Talaga berdiri pada abad XIII Masehi, Raja tersebut masih keturunan Ratu Galuh bertahta di Ciamis, beliau adalah putra V, juga ada hubungan darah dengan raja-raja di Pajajaran atau dikenal dengan Raja Siliwangi. Daerah kekuasaannya meliputi Talaga, Cikijing, Bantarujeg, Lemahsugih, Maja dan sebagian Selatan Majalengka.
Pemerintahan Batara Gunung Picung sangat baik, agama yang dipeluk rakyat kerajaan ini adalah agama Hindu. Pada pemerintahannya pembangunan prasarana jalan perekonomian telah dibuat sepanjang kurang lebih 25 Km tepatnya Talaga – Salawangi di daerah Cakrabuana.
Bidang pembangunan lainnya, perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di daerah Cikijing. Tampuk Singgasana pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung 2 windu.
Bidang pembangunan lainnya, perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di daerah Cikijing. Tampuk Singgasana pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung 2 windu.
Raja berputra 6 orang yaitu: Sunan Cungkilak, Sunan Benda, Sunan Gombang, Ratu Panggongsong, Ramahiyang, Prabu Darma Suci, Ratu Mayang Karuna. Akhir pemerintahannya kemudian dilanjutkan oleh Prabu Darma Suci.
Pemerintahan Prabu Darma Suci
Disebut juga Pandita Prabu Darma Suci. Dalam pemerintahan Raja ini agama Hindu berkembang dengan pesat (abad ke-XIII Masehi), nama beliau dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah, Jayakarta sampai di daerah Sumatera. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga, apakah kunjungan tamu-tamu merupakan hubungan keluarga saja, tidak banyak diketahui.
Peninggalan yang masih ada dari kerajaan ini antara lain Benda Perunggu, Gong, Harnas atau Baju Besi. Akhirnya abad XIIIX Masehi wafat, dengan meninggalkan 2 orang putera yakni : Begawan Garasiang, Sunan Talaga Manggung.
Pemerintahan Begawan Garasiang
Tahta pemerintahan untuk sementara dipangkunya; Bagawan Garasiang sangat mementingkan kehidupan kepercayaan. Tak lama kemudian tahta kerajaan diserahkan kepada adiknya Sunan Talaga Manggung. Hal yang lain tidak banyak diketahui oleh orang akan cerita Raja ini, yang penting beliau pindah dari Talaga ke daerah Cihaur Maja.
Pemerintahan Talaga Manggung
Sebagai raja yang terkenal sampai sekarang, karena sebagai raja yang adil lagipula bijaksana. Perhatian tentang agama Hindu sendiri. Pertanian, pengairan, kerajinan serta kesenian rakyat benar-benar diperhatikan. Hubungan dengan Kerajaan sekitarnya maupun yang jauh baik sekali seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Cirebon, maupun kerajaan Sriwijaya.
Beliau berputra dua orang yaitu: Raden Panglurah, Ratu Simbarkencana. Raja wafat, akibat penikaman yang dilakukan oleh suruhan Patih Palembang Gunung bernama Centangbarang. Kemudian Palembang Gunung menggantikan Sunan Talaga Manggung dengan beristrikan Ratu Simbarkencana. Tidak seberapa lama kemudian Ratu Simbarkencana membunuh Pelembang Gunung atas petunjuk hulubalang Citrasinga dengan tusuk kode sewaktu tidur.
Dengan meninggalnya palembang Gunung, kemudian Ratu Simbarkencana menikah dengan turunan Panjalu bernama Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu, dianugrahi 8 orang putera, diantaranya yang terkenal sekali putera pertama Sunan Parung.
Pemerintahan Ratu Simbarkencana
Sekitar awal abad XIV Masehi, dalam tampuk pemerintahannya Agama Islam menyebar ke daerah-daerah kekuasannya dibawa oleh para Santri dari Cirebon. Juga diketahui tahta pemerintahan waktu itu dipindahkan ke sebelah utara Talaga bernama Walangsuji dekat Kampung Buniasih. Ratu Simbarkencana setelah wafat digantikan puteranya Sunan Parung.
Pemerintahan Sunan Parung
Pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja. Hal yang penting dalam tahta pemerintahan, sudah adanya Perwakilan Pemerintahan yang disebut Dalem, antara lain ditempatkan di daerah Kulur, Sindangkasih, Jerokaso Maja. Sunan Parung mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung.
Pemerintahan Ratu Sunyalarang
Sebagai putera tunggal, naik tahta menggantikan ayahanda dan beliau menikah dengan turunan putera Prabu Siliwangi bernama Raden Rangga Mantri atau lebih dikenal sebagai Prabu Pucuk Umum. Waktu pemerintahannya Agama Islam berkembang sudah, banyak pemeluknya yang mana akhirnya baik Ratu Sunyalarang maupun Prabu Pucuk Umum memeluk Agama Islam. Agama Islam berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka.
Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang memeluk Agama Islam. Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Sebagai diketahui adanya masih turunan putera Prabu Siliwangi karena ayah Prabu Pucuk Umum, Raden Munding Sari Ageng itu putera dari Prabu Siliwangi menikah dengan putera Batara Gunung Picung. Jadi pernikahan Prabu Pucuk Umum dengan Sunyalarang merupakan perkawinan keluarga dalam derajat ke-IV.
Hal yang penting dalam pemerintahannya, Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah selatan.
Pemerintahan Rangga Mantri Atau Prabu Pucuk Umum
Dari pernikahan Raden Rangga Mantri dengan Ratu Parung lahir 6 orang putera: Prabu Haurkuning, Sunan Wanaperih, Dalem Lumaju Agung, Dalem Panuntun, Dalem Panaekan.
Akir abad XV Masehi, Majalengka telah berpenduduk Islam. Beliau sebelum wafat telah menunjuk putra-putranya untuk memerintah di daerah-daerah kekuasannya seperti halnya: Sunan Wanaperih untuk memegang tampuk di Walangsuji, Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja, Dalem Panuntun di Majalengka sedangkan putra pertamanya ialah Prabu Haurkuning di Talaga yang selang kemudian di Ciamis. Kelak dari keturunan beliau banyak menjabat sebagai Bupati.
Akir abad XV Masehi, Majalengka telah berpenduduk Islam. Beliau sebelum wafat telah menunjuk putra-putranya untuk memerintah di daerah-daerah kekuasannya seperti halnya: Sunan Wanaperih untuk memegang tampuk di Walangsuji, Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja, Dalem Panuntun di Majalengka sedangkan putra pertamanya ialah Prabu Haurkuning di Talaga yang selang kemudian di Ciamis. Kelak dari keturunan beliau banyak menjabat sebagai Bupati.
Sedangkan Dalem Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, Sukamenek, Nunuk Cibodas dan Kulur, Makamnya Prabu Pucuk Umum dekat Situ Sangiang Talaga.
Pemerintahan Sunan Wanaperih
Terkenal Sunan Wanaperih, di Talaga sebagai seorang Raja yang memeluk Islam pun juga seluruh rakyat di negeri ini semua telah beragama Islam.
Berputera 6 orang: Dalem Cager, Dalem Kulanata, Apun Surawijaya atau Sunan Kidul, Ratu Radeya, Ratu Putri, Dalem Wangsa Goparana. Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan putera Syech Abu Muchyi dari Pamijahan bernama Sayid Ibrahim Cipager. Dalem Wangsa Goparna pindah ke Sagalaherang Cianjur, kelak keturunan beliau ada yang menjabat Bupati seperti Bupati Wiratanudatar I Cikundul. Sunan Wanaperih memerintah di Walangsuji, tetapi beliau diganti oleh putranya Apun Surawijaya bernama Pangeran Ciburuy atau disebut juga Sunan Ciburuy atau dikenal juga dengan nama Pangeran Surawijaya nikah dengan puteri Cirebon bernama Ratu Raja Kertaningrat.
Pengeran Surawijaya dianugrahi 6 orang anak yaitu: Dipati Suwarga-Mangunjaya, Jaya Wirya, Dipati Kusumayuda, Mangun Nagara, Ratu Tilarnagara. Ratu Tilarnagara nikah dengan Bupati Panjalu bernama Pangeran Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur Kuning.
Pengganti Pangeran Surawijaya ialah Dipati Surawarga nikah dengan Puteri Nunuk berputra 2 orang: Pangeran Dipati Wiranata, Pangeran Secadilaga atau Pangeran Raji. Pangeran Surawijaya wafat digantikan oleh Pangeran Dipati Wiranata dan setelah itu diteruskan oleh putranya Pangeran Secanata. Eyang Ragasari yang nikah dengan Ratu Cirebon pengganti Pangeran Secanata. Aria Secanata memerintah kira-kira 1692; Pengaruh V.O.C sudah terasa sekali. Hingga pada tahun-tahun tersebut pemerintah di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C ke Majalengka. Akan hal ini terjadi penolakan maka terjadilah perlawanan rakyat Talaga Kompeni. Peninggalan masa tersebut masih terdapat, di musim Talaga berupa pistol, meriam dari masa kompeni.
Pengganti Pangeran Surawijaya ialah Dipati Surawarga nikah dengan Puteri Nunuk berputra 2 orang: Pangeran Dipati Wiranata, Pangeran Secadilaga atau Pangeran Raji. Pangeran Surawijaya wafat digantikan oleh Pangeran Dipati Wiranata dan setelah itu diteruskan oleh putranya Pangeran Secanata. Eyang Ragasari yang nikah dengan Ratu Cirebon pengganti Pangeran Secanata. Aria Secanata memerintah kira-kira 1692; Pengaruh V.O.C sudah terasa sekali. Hingga pada tahun-tahun tersebut pemerintah di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C ke Majalengka. Akan hal ini terjadi penolakan maka terjadilah perlawanan rakyat Talaga Kompeni. Peninggalan masa tersebut masih terdapat, di musim Talaga berupa pistol, meriam dari masa kompeni.
Kerajaan Hindu Terakhir di Majalengka
Sekitar tahun 1480 (pertengahan abad XV) Masehi di Desa Sindangkasih 3 Km dari kota Majalengka ke selatan, bersemayam Ratu bernama Nyi Rambut Kasih keturunan Prabu Siliwangi, yang masih teguh memeluk Agama Hindu.
Ratu masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan Walangsungsang, kesemuanya telah masuk agama Islam. Adanya ratu di daerah Majalengka adalah bermula untuk menemui saudaranya di daerah Talaga bernama Raden Munding Sariageng suami dari Ratu Mayang Karuna yang waktu itu memerintah di Talaga. Di perbatasan Majalengka – Talaga, ratu mendengar bahwa daerah tersebut sudah masuk Islam. Sehingga mengurungkan maksudnya dan menetaplah Ratu tersebut di Sindangkasih, dengan daerahnya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati.
Pemerintahannya sangat baik, terutama masalah Pertanian diperhatikannya juga Pengairan dari Beledug-Cicuruj-Munjul dibuatnya secara teratur. Kira-kira tahun 1485 putera Raden Rangga Mantri yang bernama Dalem Panungtung diperintahkan menjadi Dalem di Majalengka, yang mana membawa akibat pemerintahan Nyi Rambut Kasih terjepit oleh pengaruh Agama Islam.
Kemudian lagi pada tahun 1489 utusan Cirebon, Pangeran Muhammad dan isterinya Siti Armilah atau Gedeng Badori diperintahkan untuk mendatangi Nyi Rambut kasih dengan maksud agar Ratu maupun Kerajaan Sindangkasih masuk Islam dan Kerajaan Sindangkasih masuk kawasan ke Sultanan Cirebon. Nyi Rambut Kasih menolak, timbul pertempuran antara pasukan Sindangkasih dengan pasukan Kesultanan Cirebon. Kerajaan Sindangkasih menyerah dan masuk Islam sedangkan Nyi Rambut kasih tetap memeluk agama Hindu. Mulai saat inilah ada Candra Sangkala Sindangkasih Sugih Mukti tahun 1490.
Kemudian lagi pada tahun 1489 utusan Cirebon, Pangeran Muhammad dan isterinya Siti Armilah atau Gedeng Badori diperintahkan untuk mendatangi Nyi Rambut kasih dengan maksud agar Ratu maupun Kerajaan Sindangkasih masuk Islam dan Kerajaan Sindangkasih masuk kawasan ke Sultanan Cirebon. Nyi Rambut Kasih menolak, timbul pertempuran antara pasukan Sindangkasih dengan pasukan Kesultanan Cirebon. Kerajaan Sindangkasih menyerah dan masuk Islam sedangkan Nyi Rambut kasih tetap memeluk agama Hindu. Mulai saat inilah ada Candra Sangkala Sindangkasih Sugih Mukti tahun 1490.
Abad XVI Agama Islam Masuk Daerah Majalengka
Daerah-daerah yang masuk Daerah Kesultanan Cirebon, dan telah semuanya memeluk Agama Islam ialah Pemerintah Talaga, Maja, Majalengka. Penyebaran agama Islam di daerah Majalengka terutama didahului dengan masuknya para Bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh penyebar-penyebar lain antaranya: Dalem Sukahurang atau Syech Abdul Jalil dan Dalem Penuntun Semua di Maja. Pangeran Suwarga di Talaga yang lainnya Pangeran Muhammad, Siti Armilah, Nyai Mas Lintangsari, Wiranggalaksana, Salamuddin, Putera Eyang Tirta, Nursalim, RH Brawinata, Ibrahim, Pangeran Karawelang, Pangeran Jakarta, Sunan Rachmat di Bantarujeg dan masih banyak lagi.
Tahun 1650 Majalengka masuk pengaruh Mataram karena Cirebon telah menjadi kekuasaan Mataram. Waktu itu Cirebon dipegang oleh Panembahan Ratu II atau Sunan Girilaya.
Pengaruh Sultan Agung Mataram Abad XVII
Tahun 1628 Tumenggung Bahureksa diperintahkan oleh Sultan Agung untuk menyerang Batavia. Dengan bantuan pasukan-pasukan dari daerah-daerah manapun masalah logistiknya, juga pendirian logi-logi banyak didirikan di Jatiwangi, Jatitujuh dan Ligung.
Besar pengaruhnya Mataram terhadap daerah Majalengka, dimana pula banyak orang Mataram yang tidak sempat lagi ke asalnya, dan akhirnya menetap di Majalengka.
Abad ke-XVII merupakan juga bagian dari pada peristiwa pertempuran Rangga Gempol yang berusaha membendung pasukan Mataram ke wilayah Priangan. Hal ini perlu diketahui bahwa wilayah Priangan akan diserahkan kepada V.O.C. (tahun 1677). Pasukan Rangga Gempol mundur ke Indramayu dan Majalengka. Hubungan sejarah Sumedang yang menyatakan bahwa Geusan Ulun merupakan penurun para Bupati Sumedang. Majalengka waktu itu masuk kekuasaan Sunan Girilaya, katanya menyerahkan daerah Majalengka kepada Sunan tersebut sebagai pengganti Putri Harisbaya yang dibawa lari dari Keraton Cirebon ke Sumedang. Tahun 1684 Cirebon diserahkan Mataram kepada V.O.C. maka otomatis Majalengka masuk Daerah V.O.C.
Masa Penjajahan Belanda dan Penghapusan Kekuasaan Bupati Abad XVIII
Tahun 1705, seluruh Jawa Barat masuk kekuasaan Hindia Belanda, pada tahun 1706 pemerintah kolonial menetapkan Pangeran Aria Cirebon sebagai Gubernur untuk seluruh Priangan. Olehnya para Bupati diberikan wewenang untuk mengambil pajak dari rakyat, termasuk Majalengka bagi kepentingan upeti kepada pemerintah Belanda. Paksaan penanaman kopi di daerah Maja, Rajagaluh, Lemahsugih berakibat banyak rakyat jatuh kelaparan.
Majalengka pada Abad XIX
Tidak saja tanam paksa kopi, Pemerintah Hindia Belanda pun memaksa rakyat untuk menanam lada, tebu dan lain-lain tanaman yang laku di pasaran Eropa untuk pemerintah Kolonial tersebut. Berakibat fatal bertambah berat beban rakyat, sengsara maupun kelaparan terjadi dimana-mana.
Tahun 1805 pemberontakan Bagus Rangin dari Bantarjati menentang Belanda, pertempuran pecah dengan sengitnya di daerah Pangumbahan. Kekuatan 10.000 orang dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda.±Bagus Rangin 12 Juli 1812 sebagai Pahlawan Bagus Rangin menerima hukuman penggal kepala di Kali Cimanuk dekat Karangsambung. Waktu itu Gubernur Hindia Belanda Henrck Wiesel (tahun 1804-1808) kemudian dilanjutkan Herman Willem Daendels (tahun 1808-1811) dan tahun 1811-1816 kemudian Thomas ST, Raffles.
Pemerintah Baru di Majalengka
Dengan bisluit Gubernur Jendral tanggal 5 Januari tahun 1819 berdirilah Keresidenan Cirebon dengan Kabupaten Cirebon, Raja Cola, Bangawan Wetan, Maja dan Kuningan. Selanjutnya Kabupaten Maja atau Kabupaten Sindangkasih menjadi Kabupaten Majalengka.
Kabupaten Majalengka sejak tahun 1819 sampai sekarang (tahun 2002) telah mengalami 22 kali masa pemerintahan yang dipimpin oleh Bupati/Kepala Daerah.
Kabupaten Majalengka sejak tahun 1819 sampai sekarang (tahun 2002) telah mengalami 22 kali masa pemerintahan yang dipimpin oleh Bupati/Kepala Daerah.
RIWAYAT MAJALENGKA SEPANJANG CERITERA
Di bawah ini diutarakan secara singkat beberapa ceritera tentang riwayat asal mula terjadinya “Majalengka”, pendirinya, serta makna atau kata “Majalengka” itu sendiri.
Arti kata dari sesuatu nama tempat atau orang, bagi orang barat adalah dipandang tidak penting. Meraka lazim mengatakan “What is an name”. Tetapi orang timur nama bukan sekedar nama. Nama dipandang memiliki arti, dasar dan tujuan tertentu.
Bung Karno Presiden Republik Indonesia pernah mengatakan: “In a name is everythings” dalam warna bersemayam aneka warna dan benda. Demikian pula “Majalengka” sebagai suatu nama dari suatu Daerah, sesuatu tempat, atau sesuatu kota. Nenek moyang atau para leluhur tidak akan demikian saja memberi nama tanpa dasar yang mendalam dan tanpa tujuan tertentu yang luhur bagi kelanjutan keturunannya.
Bagi orang timur tentang nama mempunyai “Latar Belakang” yang khas demikian pula dengan “Majalengka” itu.
Arti kata dari sesuatu nama tempat atau orang, bagi orang barat adalah dipandang tidak penting. Meraka lazim mengatakan “What is an name”. Tetapi orang timur nama bukan sekedar nama. Nama dipandang memiliki arti, dasar dan tujuan tertentu.
Bung Karno Presiden Republik Indonesia pernah mengatakan: “In a name is everythings” dalam warna bersemayam aneka warna dan benda. Demikian pula “Majalengka” sebagai suatu nama dari suatu Daerah, sesuatu tempat, atau sesuatu kota. Nenek moyang atau para leluhur tidak akan demikian saja memberi nama tanpa dasar yang mendalam dan tanpa tujuan tertentu yang luhur bagi kelanjutan keturunannya.
Bagi orang timur tentang nama mempunyai “Latar Belakang” yang khas demikian pula dengan “Majalengka” itu.
POHON “MAJA” JADI “LANTARAN”
Alkisah diceritakan, bahwa kira-kira pada abad ke 15 Masehi berdirilah suatu kerajaan Hindu yang disebut SINDANGKASIH (kini hanya sebuah desa terlatak di sebelah tenggara ibu kota Majalengka jarak 3 Km di luar kota).
Kerajaan itu diperintah oleh seorang ratu cantik molek dan sangat sakti serta fanatik terhadap agama yang dipeluknya. Dari mana asalnya ratu itu tidak diceritakan. Namanya ialah RATU NYI RAMBUTKASIH (setegah orang mengatakan NYI AMBET KASIH). Berkat pemimpin ratu yang bijaksana dan sakti itu, maka kerajaan Sindangkasih menjadi suatu daerah yang aman-makmur, gemah-ripah loh-jinawi, tata-tentrem kertaraharja.
Rakyatnya hidup tentram damai dan aman sentosa, “rea ketan rea keton”. Demikian sejahtera dan bahagianya sehingga Sidangkasih dapat gelar Sugih Mukti yang berarti “karya serta Bahagia”.
Pengidupan rakyatnya sendiri dari bercocok tanam, terutama padi, sedang pakaiannya menenun sendiri dari hasil kapas tanamannya. Di lembah-lembah sungai subur ditanami tebu yang dibuat gula merah disamping gula dari pohon aren. Sebagian daerahnya terdiri dari hutan rimba yang membujur ke arah utara dan selatan. Konon kabarnya dalam hutan itu bukan pohon kayu jati yang banyak, akan tetapi penuh dengan pohon maja. Batangnya lurus-lurus dan tinggi-tinggi, tetapi daunnya kecil-kecil dan pahit mempunyai khasiat untuk mengobati penyakit demam. Buahnya mirip buah “Kawista”, tetapi kulitnya agak lunak, isinya kalu serasa dengan ubi jalar jenis “nikrum” yang dibakar (“dibubuy” Sunda).
Sementara itu antara 1552 – 1570 Cirebon telah diperintah oleh seorang Guru Besar Islam yaitu wali bernama SYARIF HIDAYATULLAH atau SUNAN GUNUNG JATI. Konon Cirebon pernah terserang penyakit demam yang sangat hebat dan banyak korban. Sunan Gunung Jati karena seorang Wali yang agung selalu waspada, telah mengutus puteranya yang bernama PANGERAN MUHAMMAD untuk pergi mencari pohon maja ke daerah Sindangkasih guna ramuan obat penyembuh bagi rakyatnya, sekaligus dalam rangka tugas menyebarkan agama Islam.
Pangeran Muhammad berangkat menuju Sindangkasih disertai isterinya bernama NYI SITI ARMILAH yang berasal dari Demak/Mataram yang diserahi pula tugas untuk membantu suaminya dan ikut menyebarkan agama Islam.
Nyi Rambutkasih sebagai ratu Sindangkasih yang “waspada permana tingal” telah mengetahui akan kedatangan utusan Sunan Gunung Jati itu.
Hatinya tidak ikhlas daerahnya diinjak oleh orang lain yang memeluk agama Islam. Konon kabarnya sebelum Pangeran Muhammad bertemu dengan Ratu Sindangkasih, hutan Sindangkasih yang asal mulanya penuh dengan pohon maja itu, telah “dicipta” berganti rupa, beralih menjadi raya yang sangat lebat tanpa sebatang pun masih tumbuh pohon maja yang berkhasiat itu.
Pangeran Muhammad beserta isterinya alangkah kecewa dan terkejutnya demi diketahuinya ketika tiba di Sindangkasih itu, pohon maja yang diperlukannya sudah tidak ada lagi. Maka pada saat itu dari Pangeran Muhammad keluarlah ucapan “Maja Langka” (bahasa jawa) artinya “Maja tidak ada”.
Dengan peristiwa itu, Pangeran Muhammad sangat perihatin dan berniat akan kembali ke Cirebon, sebelum maksudnya berhasil. Untuk itu Pangeran Muhammad pergi bertapa di kaki gunung sampai wafatnya, dan gunung itu kini bernama “Margatapa”.
Sebelum pergi bertapa, Pangeran Muhammad memberi amanat kepada isterinya (Nyi Siti Armilah), untuk terus berusaha menemukan pohon maja itu dan berusaha menaklukan Nyi Rambutkasih agar memeluk agama Islam.
Pada suatu ketika Nyi Siti Armilah, dapat bertemu dengan Nyi Rambutkasih, suatu pertemuan antara seorang pemeluk dan penyebar agama Islam dengan seorang pemeluk dan fanatik terhadap agama Hindu.
Nyi Rambutkasih tidak dapat menerima ajakan dan ajaran Nyi Siti Armilah untuk memeluk agama Islam. Nyi Siti Armilah berusaha keras untuk menginsafkan Nyi Rambutkasih sampai-sampai pada kalimat:
“Manusia itu pasti mati, kembali ke alam baqa, hidup di dunia ini ada batasnya”.
Nyi Rambutkasih dengan tegas membalas: “Aku seorang Ratu pelindung rakyat yang berkelakuan jujur dan baik, sebaliknya aku adalah Ratu yang tak pernah ragu-ragu untuk menghukum rakyatnya yang bertindak curang dan buruk. Dan karena itu aku tak akan mati dan tidak mau mati”.
“jika demikian halnya” jawaban Nyi Siti Armilah, “makhluk apakah gerangan namanya, yang tidak akan mati dan tidak mau mati ?”.
bersama dengan ucapan Nyi Siti Armilah ini, lenyaplah “diri (jasad) Nyi Rambutkasih Ratu Sindangkasih itu dari dunia fana ini tanpa meninggalkan bekas kuburannya (“ngahiang” Sunda).
Orang sekarang hanya mendapatkan beberapa “patilasan” bekas-bekas Nyi Rambutkasih semasa memerintah yang sampai sekarang masih dianggap “angker” seperti sumur “Sindangkasih”, sumur “Sunjaya”, sumur “Ciasih” dan batu-batu bekas bertapa yang terdapat dalam kota dan sekitarnya.
Nyi Siti Armilah selanjutnya terus menetap di Kerajaan Sindangkasih ini menyebarkan agama Islam sampai wafat dan jenzahnya dimakamkan dipinggir kali Citangkurak, dimana tumbuh pohon “BADORI” sesuai dengan amanatnya, dimana konon ditegaskan, bahwa dekat kuburannya itu dikemudian hari akan menjadi tempat tinggal Penguasa yang memerintah Majalengka, yang mengatur pemerintahan daerah maja yang langka itu.
Demikian makam Nyi Siti Armilah terletak dibelakang gedung Kabupaten Majalengka yang sekarang dan orang sering menamakan Embah Gendeng Badori.
Setelah peristiwa Nyi Rambutkasih “ngahiang” itu, maka banyak penyebar-penyebar agama Islam dari Daerah Cirebon dan Mataram datang ke daerah Kerajaan Sindangkasih yang telah berganti nama jadi Majalengka itu.
Alkisah diceritakan, bahwa kira-kira pada abad ke 15 Masehi berdirilah suatu kerajaan Hindu yang disebut SINDANGKASIH (kini hanya sebuah desa terlatak di sebelah tenggara ibu kota Majalengka jarak 3 Km di luar kota).
Kerajaan itu diperintah oleh seorang ratu cantik molek dan sangat sakti serta fanatik terhadap agama yang dipeluknya. Dari mana asalnya ratu itu tidak diceritakan. Namanya ialah RATU NYI RAMBUTKASIH (setegah orang mengatakan NYI AMBET KASIH). Berkat pemimpin ratu yang bijaksana dan sakti itu, maka kerajaan Sindangkasih menjadi suatu daerah yang aman-makmur, gemah-ripah loh-jinawi, tata-tentrem kertaraharja.
Rakyatnya hidup tentram damai dan aman sentosa, “rea ketan rea keton”. Demikian sejahtera dan bahagianya sehingga Sidangkasih dapat gelar Sugih Mukti yang berarti “karya serta Bahagia”.
Pengidupan rakyatnya sendiri dari bercocok tanam, terutama padi, sedang pakaiannya menenun sendiri dari hasil kapas tanamannya. Di lembah-lembah sungai subur ditanami tebu yang dibuat gula merah disamping gula dari pohon aren. Sebagian daerahnya terdiri dari hutan rimba yang membujur ke arah utara dan selatan. Konon kabarnya dalam hutan itu bukan pohon kayu jati yang banyak, akan tetapi penuh dengan pohon maja. Batangnya lurus-lurus dan tinggi-tinggi, tetapi daunnya kecil-kecil dan pahit mempunyai khasiat untuk mengobati penyakit demam. Buahnya mirip buah “Kawista”, tetapi kulitnya agak lunak, isinya kalu serasa dengan ubi jalar jenis “nikrum” yang dibakar (“dibubuy” Sunda).
Sementara itu antara 1552 – 1570 Cirebon telah diperintah oleh seorang Guru Besar Islam yaitu wali bernama SYARIF HIDAYATULLAH atau SUNAN GUNUNG JATI. Konon Cirebon pernah terserang penyakit demam yang sangat hebat dan banyak korban. Sunan Gunung Jati karena seorang Wali yang agung selalu waspada, telah mengutus puteranya yang bernama PANGERAN MUHAMMAD untuk pergi mencari pohon maja ke daerah Sindangkasih guna ramuan obat penyembuh bagi rakyatnya, sekaligus dalam rangka tugas menyebarkan agama Islam.
Pangeran Muhammad berangkat menuju Sindangkasih disertai isterinya bernama NYI SITI ARMILAH yang berasal dari Demak/Mataram yang diserahi pula tugas untuk membantu suaminya dan ikut menyebarkan agama Islam.
Nyi Rambutkasih sebagai ratu Sindangkasih yang “waspada permana tingal” telah mengetahui akan kedatangan utusan Sunan Gunung Jati itu.
Hatinya tidak ikhlas daerahnya diinjak oleh orang lain yang memeluk agama Islam. Konon kabarnya sebelum Pangeran Muhammad bertemu dengan Ratu Sindangkasih, hutan Sindangkasih yang asal mulanya penuh dengan pohon maja itu, telah “dicipta” berganti rupa, beralih menjadi raya yang sangat lebat tanpa sebatang pun masih tumbuh pohon maja yang berkhasiat itu.
Pangeran Muhammad beserta isterinya alangkah kecewa dan terkejutnya demi diketahuinya ketika tiba di Sindangkasih itu, pohon maja yang diperlukannya sudah tidak ada lagi. Maka pada saat itu dari Pangeran Muhammad keluarlah ucapan “Maja Langka” (bahasa jawa) artinya “Maja tidak ada”.
Dengan peristiwa itu, Pangeran Muhammad sangat perihatin dan berniat akan kembali ke Cirebon, sebelum maksudnya berhasil. Untuk itu Pangeran Muhammad pergi bertapa di kaki gunung sampai wafatnya, dan gunung itu kini bernama “Margatapa”.
Sebelum pergi bertapa, Pangeran Muhammad memberi amanat kepada isterinya (Nyi Siti Armilah), untuk terus berusaha menemukan pohon maja itu dan berusaha menaklukan Nyi Rambutkasih agar memeluk agama Islam.
Pada suatu ketika Nyi Siti Armilah, dapat bertemu dengan Nyi Rambutkasih, suatu pertemuan antara seorang pemeluk dan penyebar agama Islam dengan seorang pemeluk dan fanatik terhadap agama Hindu.
Nyi Rambutkasih tidak dapat menerima ajakan dan ajaran Nyi Siti Armilah untuk memeluk agama Islam. Nyi Siti Armilah berusaha keras untuk menginsafkan Nyi Rambutkasih sampai-sampai pada kalimat:
“Manusia itu pasti mati, kembali ke alam baqa, hidup di dunia ini ada batasnya”.
Nyi Rambutkasih dengan tegas membalas: “Aku seorang Ratu pelindung rakyat yang berkelakuan jujur dan baik, sebaliknya aku adalah Ratu yang tak pernah ragu-ragu untuk menghukum rakyatnya yang bertindak curang dan buruk. Dan karena itu aku tak akan mati dan tidak mau mati”.
“jika demikian halnya” jawaban Nyi Siti Armilah, “makhluk apakah gerangan namanya, yang tidak akan mati dan tidak mau mati ?”.
bersama dengan ucapan Nyi Siti Armilah ini, lenyaplah “diri (jasad) Nyi Rambutkasih Ratu Sindangkasih itu dari dunia fana ini tanpa meninggalkan bekas kuburannya (“ngahiang” Sunda).
Orang sekarang hanya mendapatkan beberapa “patilasan” bekas-bekas Nyi Rambutkasih semasa memerintah yang sampai sekarang masih dianggap “angker” seperti sumur “Sindangkasih”, sumur “Sunjaya”, sumur “Ciasih” dan batu-batu bekas bertapa yang terdapat dalam kota dan sekitarnya.
Nyi Siti Armilah selanjutnya terus menetap di Kerajaan Sindangkasih ini menyebarkan agama Islam sampai wafat dan jenzahnya dimakamkan dipinggir kali Citangkurak, dimana tumbuh pohon “BADORI” sesuai dengan amanatnya, dimana konon ditegaskan, bahwa dekat kuburannya itu dikemudian hari akan menjadi tempat tinggal Penguasa yang memerintah Majalengka, yang mengatur pemerintahan daerah maja yang langka itu.
Demikian makam Nyi Siti Armilah terletak dibelakang gedung Kabupaten Majalengka yang sekarang dan orang sering menamakan Embah Gendeng Badori.
Setelah peristiwa Nyi Rambutkasih “ngahiang” itu, maka banyak penyebar-penyebar agama Islam dari Daerah Cirebon dan Mataram datang ke daerah Kerajaan Sindangkasih yang telah berganti nama jadi Majalengka itu.
Yang terpenting diantaranya ialah: Embah Haji Salamodin, berasal dari Mataram yang diutus oleh Sunan Gunung Jati supaya menyebarkan agama Islam dan mendirikan Pesantren. Tempatnya di Babakanjawa dan dimakamkan di sini, Putera Sultan Agung, berasal dari Mataram salah seorang murid Sunan Gunung Jati yang mendapat gelar Dalem Panungtun/Panungtung, karena pada ketika itu berakhirlah riwayat Budha di Majalengka, dan karena beliaulah yang menuntunnya ke ajaran agama Islam. Dimakamkan di Girilawungan, Embah Wiranggalaksana, berasal dari Tubang dimakamkan di Samojaopat, Majalengka-kulon.
Ceritera “ngahiangnya” Nyi Rambutkasih ini demikian mendalamnya sehingga merupakan “legenda” bagi rakyat asli Majalengka, dan terhadap kesaktiannya seta “masih adanya” itu merupakan suatu mythos, suatu kepercayaan yang masih melekat dengan kuatnya.
Hal ini disebabkan karena sering terjadinya ada orang-orang yang “kawenehan” yaitu bertemu dengan mendadak tanpa diketahui lebih dahulu dari mana datangnya dan tidak mengenal sebelumnya dengan ujud seorang Wanita di malam hari yang menamakan dirinya Nyi Rambutkasih. Adakalanya orang-orang menjadi kesasar atau gila, atau sakit dan sebagainya. Yang menurut kepercayaan karena diganggu oleh roh Nyi Rambutkasih itu.
Dibalik itu, rakyat Majalengka mempunyai kepercayaan yang amat kuat, bahwa selama Nyi Rambutkasih “ngageugeuh” Majalengka, dan orang-orangnya tetap berlaku baik dan jujur maka Sindangkasih Sugih Mukti itu pasti akan teralami pula pada waktu-waktu yang mendatang. Kebalikannya jika tidak, maka Nyi Rambutkasih akan murka dan akan menimbulkan malapetaka. Wallohu, alam bisawab.
Hal ini disebabkan karena sering terjadinya ada orang-orang yang “kawenehan” yaitu bertemu dengan mendadak tanpa diketahui lebih dahulu dari mana datangnya dan tidak mengenal sebelumnya dengan ujud seorang Wanita di malam hari yang menamakan dirinya Nyi Rambutkasih. Adakalanya orang-orang menjadi kesasar atau gila, atau sakit dan sebagainya. Yang menurut kepercayaan karena diganggu oleh roh Nyi Rambutkasih itu.
Dibalik itu, rakyat Majalengka mempunyai kepercayaan yang amat kuat, bahwa selama Nyi Rambutkasih “ngageugeuh” Majalengka, dan orang-orangnya tetap berlaku baik dan jujur maka Sindangkasih Sugih Mukti itu pasti akan teralami pula pada waktu-waktu yang mendatang. Kebalikannya jika tidak, maka Nyi Rambutkasih akan murka dan akan menimbulkan malapetaka. Wallohu, alam bisawab.
INGAT AKAN ASAL PERMULAN PENCEGAH PERANG SAUDARA
Menurut ceritera, pada waktu Kerajaan Galuh masih menganut agama Budha, konon putera Raja yang tertua telah masuk Islam dan menjadi murid Sunan Gunung Jati Cirebon. Putera Galuh itu menurut riwayat namanya SUNAN UNDUNG, telah diutus oleh Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama Islam ke jurusan barat daya.
Diantara tugas itu telah termasuk kewajiban mengajak adiknya dikerajaan Galuh yang masih saja memeluk agama Budha.
Kedua saudara yang masing-masing berlainan agama itu telah bertemu di suatu tempat yang agak tinggi menyerupai gunung yang terletak di daerah hutan Sindangkasih yang kini disebut orang GIRILAWUNGAN yang berarti gunung tempat bertemu dan berhadapan-hadapan.
Putera Galuh itu masing-masing mempertahankan keyakinan akan kebenaran agama yang dipeluknya, sehingga pertarungan yang bagaimanakah kenyataannya? Tengah kedua saudara itu bertengkar, maka tiba-tiba mereka akan ingat akan “purwadaksina” ingat kepada asal permulaannya, bahwa mereka itu kedua-duanya adalah saudara, dan ingat akan adanya hubungan bathin kekeluargaan dan keturunan yang menjadikan mereka. Setelah mereka berdua ingat akan hal itu, maka perang saudara yang akan meletus itu, tidak sampai terjadi, kedua-duanya kembali damai. Mereka sadar tak ada manfaatnya mempertengkarkan agama.
Sambil berpisah mereka mengeluarkan kata-kata media lengka artinya “ditengah-tengah eling kepada asal permulaan”.
Demikian “madia-lengka” berubah dibunyikan menjadi Majalengka.
Wallahualam.
Menurut ceritera, pada waktu Kerajaan Galuh masih menganut agama Budha, konon putera Raja yang tertua telah masuk Islam dan menjadi murid Sunan Gunung Jati Cirebon. Putera Galuh itu menurut riwayat namanya SUNAN UNDUNG, telah diutus oleh Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama Islam ke jurusan barat daya.
Diantara tugas itu telah termasuk kewajiban mengajak adiknya dikerajaan Galuh yang masih saja memeluk agama Budha.
Kedua saudara yang masing-masing berlainan agama itu telah bertemu di suatu tempat yang agak tinggi menyerupai gunung yang terletak di daerah hutan Sindangkasih yang kini disebut orang GIRILAWUNGAN yang berarti gunung tempat bertemu dan berhadapan-hadapan.
Putera Galuh itu masing-masing mempertahankan keyakinan akan kebenaran agama yang dipeluknya, sehingga pertarungan yang bagaimanakah kenyataannya? Tengah kedua saudara itu bertengkar, maka tiba-tiba mereka akan ingat akan “purwadaksina” ingat kepada asal permulaannya, bahwa mereka itu kedua-duanya adalah saudara, dan ingat akan adanya hubungan bathin kekeluargaan dan keturunan yang menjadikan mereka. Setelah mereka berdua ingat akan hal itu, maka perang saudara yang akan meletus itu, tidak sampai terjadi, kedua-duanya kembali damai. Mereka sadar tak ada manfaatnya mempertengkarkan agama.
Sambil berpisah mereka mengeluarkan kata-kata media lengka artinya “ditengah-tengah eling kepada asal permulaan”.
Demikian “madia-lengka” berubah dibunyikan menjadi Majalengka.
Wallahualam.
“”LANGKAH” SITI ARMILAH
Pada saat Pangeran Muhammad beserta isterinya Nyi Siti Armilah melaksanakan amanat Sunan Gunung Jati untuk mencari pohon maja di kerajaan Sindangkasih dan mengajak Nyi Ratu Rambutkasih untuk memeluk agama Islam, maka sebagian orang menceriterakan asal mula terjadinya Majalengka itu agak berlainan.
Pangeran Muhammad dan Siti Armilah telah sampai di daerah Hutan Sindangkasih yang penuh dengan pohon maja. Tempat mereka mula-mula menemukan pohon itu terletak di suatu daerah pegunungan yang sekarang disebut maja (ibukota kecamatan Maja). Nyi Siti Armilah mendapat amanat suaminya untuk langsung menundukkan Nyi Ratu Rambutkasih yang bertahta di Sindangkasih agar berganti memeluk agama Islam.
Untuk memudahkan perjalanan menempuh hutan rimba itu, Nyi Siti Armilah diberi ayam jantan oleh suaminya. Konon ayam jantan itu namanya Si Jalak Harupat. Kemana ayam jantan itu pergi, harus diikuti jejaknya sampai nanti berkokok.
Kokok ayam tadi akan menandakan bahwa tempat yang akan dituju telah tercapai. Demikianlah si Jalak Harupat dilepaskan dan jejaknya diikuti dengan langkah-langkah Nyi Siti Armilah. Akhirnya si Jalak Harupat berkokok tepat di stuatu tempat yang dituju yaitu tempat yang sekarang menjadi kota Majalengka.
Pada saat itulah Siti Armilah menamakan tempat yag dituju bukan Sindangkasih tetapi “Maja alengka” sebagai peringatan baginya yang mula-mula dari “maja melangkahkan kakinya sampai ditempat yang ditujunya”. Wallahualam.
Pada saat Pangeran Muhammad beserta isterinya Nyi Siti Armilah melaksanakan amanat Sunan Gunung Jati untuk mencari pohon maja di kerajaan Sindangkasih dan mengajak Nyi Ratu Rambutkasih untuk memeluk agama Islam, maka sebagian orang menceriterakan asal mula terjadinya Majalengka itu agak berlainan.
Pangeran Muhammad dan Siti Armilah telah sampai di daerah Hutan Sindangkasih yang penuh dengan pohon maja. Tempat mereka mula-mula menemukan pohon itu terletak di suatu daerah pegunungan yang sekarang disebut maja (ibukota kecamatan Maja). Nyi Siti Armilah mendapat amanat suaminya untuk langsung menundukkan Nyi Ratu Rambutkasih yang bertahta di Sindangkasih agar berganti memeluk agama Islam.
Untuk memudahkan perjalanan menempuh hutan rimba itu, Nyi Siti Armilah diberi ayam jantan oleh suaminya. Konon ayam jantan itu namanya Si Jalak Harupat. Kemana ayam jantan itu pergi, harus diikuti jejaknya sampai nanti berkokok.
Kokok ayam tadi akan menandakan bahwa tempat yang akan dituju telah tercapai. Demikianlah si Jalak Harupat dilepaskan dan jejaknya diikuti dengan langkah-langkah Nyi Siti Armilah. Akhirnya si Jalak Harupat berkokok tepat di stuatu tempat yang dituju yaitu tempat yang sekarang menjadi kota Majalengka.
Pada saat itulah Siti Armilah menamakan tempat yag dituju bukan Sindangkasih tetapi “Maja alengka” sebagai peringatan baginya yang mula-mula dari “maja melangkahkan kakinya sampai ditempat yang ditujunya”. Wallahualam.
ANTARA “ADA DAN TIADA”
Ada pula ceritera orang yang meriwayatkan terjadinya Majalengka itu lain lagi. Pengaruh kekuasaan Sultan Agung Mataram ternyata meluas ke arah barat, maksudnya pulau Jawa sebelah barat. Tersebutlah seorang Sunan Jebug yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram ia tetap mempertahankan daerahnya (daerah Majalengka sekarang) bebas dari penguasaan Sultan Agung Mataram yang mengakibatkan timbulnya amarah Sultan. Sultan Agung Mataram segera mengirimkan 40 orang hulu balang merebut daerah Sunan Jebug melihat gelagat yang tidak enak ini Sunan Jebug bersepakat dengan senopatinya yang bernama Endang Capang untuk menghindari pertempuran dan pertumpahan darah.
Sebelum 40 orang hulu balang datang dari Mataram tiba di daerahnya, maka Sunan Jebug dan Endang Capang bersembunyi dan hanya meninggalkan patilasan saja. Begitulah ketika pasukan Hulubalang Mataram tiba di daerah ini maka tak seorang pun yang dapat menemukan dimana Sunan Jebug dan Senopati Endang Capang bersembunyi. Akhirnya seorang diantara hulubalang itu berseru: “Madia Langka”. Antara ada dan tiada. Dikatakan tiada memang tidak sampai ditemukan, dikatakan ada karena ada patilasan berkas-berkasnya. Demikianlah dari Madia Langka berubah menjadi Majalengka. Wallahualam.
Ada pula ceritera orang yang meriwayatkan terjadinya Majalengka itu lain lagi. Pengaruh kekuasaan Sultan Agung Mataram ternyata meluas ke arah barat, maksudnya pulau Jawa sebelah barat. Tersebutlah seorang Sunan Jebug yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram ia tetap mempertahankan daerahnya (daerah Majalengka sekarang) bebas dari penguasaan Sultan Agung Mataram yang mengakibatkan timbulnya amarah Sultan. Sultan Agung Mataram segera mengirimkan 40 orang hulu balang merebut daerah Sunan Jebug melihat gelagat yang tidak enak ini Sunan Jebug bersepakat dengan senopatinya yang bernama Endang Capang untuk menghindari pertempuran dan pertumpahan darah.
Sebelum 40 orang hulu balang datang dari Mataram tiba di daerahnya, maka Sunan Jebug dan Endang Capang bersembunyi dan hanya meninggalkan patilasan saja. Begitulah ketika pasukan Hulubalang Mataram tiba di daerah ini maka tak seorang pun yang dapat menemukan dimana Sunan Jebug dan Senopati Endang Capang bersembunyi. Akhirnya seorang diantara hulubalang itu berseru: “Madia Langka”. Antara ada dan tiada. Dikatakan tiada memang tidak sampai ditemukan, dikatakan ada karena ada patilasan berkas-berkasnya. Demikianlah dari Madia Langka berubah menjadi Majalengka. Wallahualam.
NEGARA “TENGAH”
Pihak lain tidak mengutarakan asal mula terjadinya Majalengka. Tetapi hanya mengupas kata Majalengka setelah meninjau dari segi-segi tertentu. Rakyat pulau Jawa umumnya mengetahui bahwa dahulu kala orang menyebut “Buana Panca Tengah” yang dimaksudkan ialah Indonesia sekarang khususnya Pulau Jawa. Dihubungkannya dengan ceritera Ramayana dan Kerajaan Alengka yang diartikan “Negara”. Adapun “maja” diartikan “madia” bukan nama pohon tetapi “tengah”. Kenyataan “tengah” itu ditinjau dari segi-segi: Ilmu Bumi, letak daerah Majalengka ini di tengah-tengah antara pegunungan dan pedataran, Pemerintahan, terletak di tengah-tengah kekuasaan Islam (Cirebon/Mataram) dan Hindu/Budha (Galuh-Pajajaran), Ilmu Bangsa-Bangsa, rakyat daerah ini berada di tengah-tengah suku Jawa dan suku Sunda, Kebudayaan, Kebudayaannya sebagian pengaruh kebudayaan Jawa, lainnya kebudayaan Sunda.
Demikian katanya, Majalengka adalah “Negara Tengah”, dalam segala hal termasuk golongan “pertengahan”, tidak pernah menonjol dan meninggi luar biasa, dan sebaliknya pula belum pernah ketinggalan dan menurun sampai paling terbelakang. Dalam segala hal selalu “siger-tengah”.
Sesungguhnya masih terdapat beberapa buah lagi ceritera-ceritera yang meriwayatkan terjadinya Majalengka, demikian pula kupasan-kupasan mengenai tafsiran arti kata Majalengka dan nama-nama pendirinya pun berbeda-beda. Bolehlah mempercayainya, dan tiada larangan untuk menolaknya. Tetapi tiada perlu untuk dijadikan bahan pertengkaran, karena selama riwayat aslinya belum diketemukan dan diketahui umum, semua itu hanya sekedar pembantu sekedar panawar bagi mereka yang ingin mengetahui riwayat nama daerah tempat tumpah darahnya, sebelum memaklumi yang sebenarnya.
Dari ringkasan-ringkasan riwayat yang berbeda-beda itu dapat dikatakan bahwa, “Majalengka” adalah nama yang diwariskan nenek moyang sejak ratusan tahun yang lalu.
Suatu nama yang diberikan untuk menandai suatu daerah yang mengandung nilai-nilai lahir dan nilai-nilai bathin.
Begitu pula halnya dengan Sindangkasih yang mempunyai riwayat lebih luas daripada Majalengka, kedua macam nilai dan unsur lahir dan batin-pun dimilikinya.
Unsur lahir menunjukkan, sejak dulu kala, daerah ini memang masyhur akan kesuburan tanahnya dan kemakmuran rakyatnya.
Unsur batin menyatakan, bahwa nenek moyang pun adalah orang-orang yang memeluk agama menurut zamannya serta keyakinannya. Dalam mempertahankan keyakinan, ditempuhnya jalan yang bijaksana, menghindari perang saudara antara sesama ummat manusia.
Terletaklah tugas dan kewajiban di pundak para keturunannya untuk memelihara warisan nenek moyang ini dengan sebaik mungkin, agar supaya daerah ini dengan modal unsur lahir batin tadi dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat umumnya, sehingga dapat merasakan nikmatnya hidup bahagia dan sentosa dengan meratakan keadilan dan kemakmuran yang turun-temurun.
Pihak lain tidak mengutarakan asal mula terjadinya Majalengka. Tetapi hanya mengupas kata Majalengka setelah meninjau dari segi-segi tertentu. Rakyat pulau Jawa umumnya mengetahui bahwa dahulu kala orang menyebut “Buana Panca Tengah” yang dimaksudkan ialah Indonesia sekarang khususnya Pulau Jawa. Dihubungkannya dengan ceritera Ramayana dan Kerajaan Alengka yang diartikan “Negara”. Adapun “maja” diartikan “madia” bukan nama pohon tetapi “tengah”. Kenyataan “tengah” itu ditinjau dari segi-segi: Ilmu Bumi, letak daerah Majalengka ini di tengah-tengah antara pegunungan dan pedataran, Pemerintahan, terletak di tengah-tengah kekuasaan Islam (Cirebon/Mataram) dan Hindu/Budha (Galuh-Pajajaran), Ilmu Bangsa-Bangsa, rakyat daerah ini berada di tengah-tengah suku Jawa dan suku Sunda, Kebudayaan, Kebudayaannya sebagian pengaruh kebudayaan Jawa, lainnya kebudayaan Sunda.
Demikian katanya, Majalengka adalah “Negara Tengah”, dalam segala hal termasuk golongan “pertengahan”, tidak pernah menonjol dan meninggi luar biasa, dan sebaliknya pula belum pernah ketinggalan dan menurun sampai paling terbelakang. Dalam segala hal selalu “siger-tengah”.
Sesungguhnya masih terdapat beberapa buah lagi ceritera-ceritera yang meriwayatkan terjadinya Majalengka, demikian pula kupasan-kupasan mengenai tafsiran arti kata Majalengka dan nama-nama pendirinya pun berbeda-beda. Bolehlah mempercayainya, dan tiada larangan untuk menolaknya. Tetapi tiada perlu untuk dijadikan bahan pertengkaran, karena selama riwayat aslinya belum diketemukan dan diketahui umum, semua itu hanya sekedar pembantu sekedar panawar bagi mereka yang ingin mengetahui riwayat nama daerah tempat tumpah darahnya, sebelum memaklumi yang sebenarnya.
Dari ringkasan-ringkasan riwayat yang berbeda-beda itu dapat dikatakan bahwa, “Majalengka” adalah nama yang diwariskan nenek moyang sejak ratusan tahun yang lalu.
Suatu nama yang diberikan untuk menandai suatu daerah yang mengandung nilai-nilai lahir dan nilai-nilai bathin.
Begitu pula halnya dengan Sindangkasih yang mempunyai riwayat lebih luas daripada Majalengka, kedua macam nilai dan unsur lahir dan batin-pun dimilikinya.
Unsur lahir menunjukkan, sejak dulu kala, daerah ini memang masyhur akan kesuburan tanahnya dan kemakmuran rakyatnya.
Unsur batin menyatakan, bahwa nenek moyang pun adalah orang-orang yang memeluk agama menurut zamannya serta keyakinannya. Dalam mempertahankan keyakinan, ditempuhnya jalan yang bijaksana, menghindari perang saudara antara sesama ummat manusia.
Terletaklah tugas dan kewajiban di pundak para keturunannya untuk memelihara warisan nenek moyang ini dengan sebaik mungkin, agar supaya daerah ini dengan modal unsur lahir batin tadi dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat umumnya, sehingga dapat merasakan nikmatnya hidup bahagia dan sentosa dengan meratakan keadilan dan kemakmuran yang turun-temurun.
Sumber : Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Majalengka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar